Minggu, 05 Januari 2014

SYUKUR

ALHAMDULILLAH...

Puji syukur kepada Allah SWT, akhirnya Blog ini dapat saya aktifkan kembali. Maksud hati ingin terus berbagi apapun di sini namun apa daya passwordnya lupa sehingga beberapa tahun saya biarkan berhenti apa adanya. Tidak banyak memang apa yang saya miliki  namun senang rasanya memberikan sesuatu yang kita miliki bisa dirasakan oleh semuanya...

Bimillahi al-awwali wal akhiri ..... semoga barokah! Amiin


Rabu, 29 Februari 2012

Sifat Irodah

SIFAT IRODAH

A. Pengertian Sifat Irodah
Sifat wajib Allah yang ke-delapan adalah AI-Irodah (Maha Berkehendak), yaitu sifat Allah yang aza'li yang wujud seperti sifat AI-Qudrat yang sekiranya kita dibukakan hijabnya, tentu kita dapat melihatnya. Sifat Al-Irodah ini ada sebab Dzat Allah dan berhubungan dengan segala hal yang mungkin, ia tidak berhubungan dengan hal-hal yang wajib maupun mustahil. Sifat Al-Irodah ialah sifat yang sebab sifat ini Allah menentukan hal yang mungkin dengan sebagian sesuatu yang mungkin pada hal yang mungkin tersebut.
Penjelasannya ialah, sesungguhnya semua makhluk sebelum wujud itu boleh juga di wujudkan menurut suatu sifat selain sifatnya sesuda wujud. Sifat putih itu boleh apabila di wujudkan hitam, merah atau hijau. Tinggi itu boleh di wujudkan pendek. Langit boleh juga di wujudkan di bawah, dan bumi di wujudkan di atas.
Jadi ketentuan masing-masing hal tersebut dengan sifat yang ada padanya adalah pengaruh Al-Irodah.
B. Hubungan Sifat Al-irodah dengan AI-Qudrat Dalam Teori
Perlu diketahui, bahwa irodah (kehendak) Allah swt menurut teori pemikiran itu mendahului Qudrotnya, karena Qudrot Allah dalam pemikiran kita itu berhubungan dengan sesuatu, lalu irodah Allah menetapkan kepadanya sebagaimana sifa-sifat yang mungkin untuk sesuatu tersebut, contoh : Zaid sebelum berwujud boleh jadi dia putih, hitam, pendek, atau tinggi, boleh menetap di timur atau barat, boleh dia di atas atau di bawah. Jadi ketentuan zaid berwarna putih, tinggi, berada di timur dan di barat itu di pengaruhi oleh sifat irodah, sesudah itu sifat Al-Qudrat memberikan pengaruh berdasarkan keadaan di atas. Tetapi hal ini menurut teori pemikiran orang-orang kita. Adapun menurut sifat-sifat Allah tidak seperti itu clan kita tidak boleh mengatakan berdasarkan teori angan-angan kita tersebut, karena dalam pemberian pengaruh di luar angan-angan (ucapan), kita tidak­boleh mengatakan, irodah Allah itu lebih dahulu berhubungan dengan sesuatu yang mungkin, kemudian di susul oleh Qudrot Allah, sebab yang dernikian itu termasuk sifat-sifat makhluk, sedangkan sifat-sifat Allah tidak sama dengan sifat-sifat makhluk.

C. Hal-hal Mungkin Yanng Berhubungan Dengan Sifat Al­Qudrat dan AI-Irodat
Perlu diketahui, sesungguhnya hal-hal yang mungkin ada hubungannya dengan sifat qudrat dan irodat itu ada enam, yaitu:
1.   Wujud (keberadaan)
2.   Adam (Ketiadaan)
3.   Sifat, seperti tinggi, pendek, dan sebagainya.
4.   Zaman
5.   Tempat
6.   Arah dan Ukuran.
Enam hal di atas di sebut Al-Mumkinat Al-Mutaqobilat. Sebagian ulama'menyusun dalam nadlom:
المُمْكِنَاتُ المُتَقَابِلاَتُ # وُجُوْدُنَا وَالعَدَمُ الصِّفَاتُ
أَزْمِنَةٌ أمْكِنَةٌ جِهَاتُ # كَذَا المَقَادِيْرُ رَوَى الثِّقَاتُ
"Perkara-perkara  mungkin   yang berlawanan ialah wujud (ada) dan Adam (tiada), Sifat (seperti tinggi, pendek, d1l), Zaman (seperti siang dan malam), dan Tempat-tempat atau Arah (seperti atas, bawah, samping, dll) dan Ukuran. Hal ini diriwayatkan oleh orang yang terpercaya."
D.  Dua Ta'alluq Sifat AI-Irodah
 Perlu diketahui, bahwa sifat Al-Irodah itu mempunyai dua ta'alluq yaitu :
1.   Ta'alluq Shuluhi Qodim
2.   Ta'alluq Tanjizi Qodim
Ta'alluq Shuluhi Qodim, yaitu sahnya sifat al-irodah menentukan sesuatu yang mungkin pada zaman azali dengan semua yang mungkin di sandang sesuatu tersebut. Zaid yang tinggi itu dapat saja tidak seperti keadaan yang dialami, jika memandang kelayakan sifat Al-Irodah. Sifat Al-Irodah itu layak saja menentukan Zaid menjadi raja atau menjadi orang gembel, jika memandang Ta'alluq Shuluhi Qodim sifat al-irodah. ini.
Ta'alluq Tanjizi Qodim, yaitu sifat yang ditetukan Allah, dengn sifat Al-Irodah-Nya pada sesuatu yang mungkin di jaman azali dan tetap berlangsung dalam kenyataan tanpa ada perubahan, seperti, Zaid ada atau tidak ada, putih atau hitam. Artinya ketentuan irodah Allah terhadap sesuatu yang mungkin pada jaman azali dengan salah satu dua perkara saja, ada atau tidak ada, baik atau buruk.
E. Hukum menyandarkan Kekuasaan Menentukan Sesuatu pada Sifat Al-Irodah
Perlu diketahui, bahwa menyandarkan kekuasaan (hak) menentukan sesuatu pada sifat al-irodah itu adalah majas, sebab pada hakekatnya yang menentukan sepenuhnya adalah Allah swt. Sifat irodah itu hanya merupakan sebab saja. Barang siapa yang berkeyakinan bahwa penentuan sesuatu dengan Al-Irodah atau penentuan sesuatu dengan Al-Irodah dan Dzat Allah, maka dia dihukumi kafir.
F. Antara Al-Irodah (kehendak) dan Perintah
Perlu diketahui, bahwa irodah itu tidak identik dengan perintah. Berbeda dengan pendapat golongan Mu'tazilah, Allah swt itu berkehendak baik dan jelek,tetapi tidak memerintah kecuah pada yang baik.

G. Dalil Aqli Sifat Wajib Allah Al-Irodah
Dalil aqli sifat wajib Allah al-irodah ialah wujud atau keberadaan alam raya ini. Cara mengemukakan dalil ini ialah , apabila. Allah tidak memiliki kehendak (al-irodah), berarti Dia di paksa, jika Dia dipaksa tentu Dia lemah, dan apabila. Dia lemah berarti Dia tidak kuasa, dan apabila Dia tidak kuasa, maka semua makhluk di alam raya ini tidak ada. Sedangkan jika alam raya ini tidak ada tentu tidak benar, sebab berlawanan dengan kenyataan. Jadi apa saja yang menyebabkan ketidak benaran, yaitu kelemahan Allah, maka harus di tolak. Apabila Allah jelas tidak lemah, bararti Dia tidak di paksa, dan Dia berarti memiliki kehendak (Al-Irodah). Apabila sudah menjadi kenyataan, bahwa Allah itu memiliki Al-Irodah, maka pasti mustahil Dia bersifat Al-Karokah (terpaksa) lawan sifat Al-irodah.

H.Dalil Naqli Sifat Wajib Allah Al-Irodah
Allah berfirman:
إِنَّمَا قَوْلُنَا لِشَئٍ إذَا أَرَدْنَاهُ أَنْ نَقُوْلَ لهُ كُنْ فَيَكُوْنُ
"Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya Kun (jadilah), maka jadilah ia."

وَ رَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَ يَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الخِيْرَةُ سُبْحَانَ اللهِ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ
"Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilih-Nya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan."

قُلِ اللّهُمَّ مَاِلكُ المُلْكِ تُؤْتِي المُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَ تَنْزِعُ المُلْكَ مِمَّنُ تَشَاءُ وَ تُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَ تُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الخَيْرِ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَئْ قَدِيْرٌ
"Katakanlah 'Wahai, Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehandaki. Engkau mulyakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkau-lah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha kuasa atas segala sesuatu'."

Minggu, 19 Februari 2012

Sifat Qudroh

SIFAT QUDROH

A.     Arti Sifat Qudroh
Sifat wajib Allah yang ketujuh adalah Al-Qudroh (Maha Kuasa), yaitu suatu sifat Allah yang azali yang ada sebab dzat-Nya, yang dengan sifat ini Dia menciptakan hal-hal yang mungkin dan meniadakannya. Maksudnya, sebab sifat Al-Qudroh ini segala hal yang mungkin berwujud, asalnya tidak ada menjadi ada. Jadi apabila sifat Al-Qudroh ini berhubungan dengan hal yang tidak ada, bisa menyebabkan wujudnya hal yang tidak ada tersebut dan jika berhubungan dengan hal yang wujud maka sifat Al-Qudroh ini mejadi sebab ketiadaan hal yang wujud tadi.

B.     Ta’alluq SifatQudroh dan Arti Ta’alluq
Hubungan (ta’alluq) sifat qudroh dengan maujud (hal yang wujud) dan ma’dum (hal yang tidak wujud) disebut Ta’alluq Tanjizi Hadits. Artinya, hubungan yang terkait pelaksanaan pekerjaan. Selain itu sifat qudroh juga memiliki Ta’alluq Shuluhi Qodim yaitu kesesuaian sifat qudroh pada segala sesuatu yang ada dan tidak ada di zaman azali. Contohnya, sifat qudroh telah sesuai jika ada seorang diciptakan dalam postur yang tinggi maupun pendek. Ta’alluq tanjizi semacam ini hanya sesuai dengan keadaan yang telah dialami orang tersebut.

Perlu diketahui, bahwa sifat Qudroh itu hanya berta’alluq dengan hal-hal yang mungkin, tidak berta’alluq dengan hal-hal yang wajib, seperti dzat Allah dan sifat-sifat-Nya, dan juga tidak berta’alluq  dengan hal-hal yang mustahil, seperti ada sekutu bagi Allah. Hal yang demikian ini karena sifat Qudroh itu berta’alluq dengan pekerjaan, mencipta dan meniadakan. Sedangkan dzat Allah telah ada, begitu pula sifat-sifat-Nya dan mewujudkan sesuatu yang telah wujud itu mustahil, karena tahsilul hasil. Jadi sifat Qudroh itu tidak berta’alluq dengan wujud (keberadaan) Allah dan tidak berta’alluq dengan tiada-Nya, sebab peniadaan Allah itu sesuatu yang mustahil, pasti menimbulkan kerusakan, sedangkan perkara yang mustahil seperti adanya sekutu bagi Allah jelas tidak ada, jadi tidak mungkin Allah tidak ada atau ditiadakan.

Apabila ada pertanyaan, apakah Allah kuasa menciptakan sekutu, istri atau anak untuk diri-Nya? Maka janganlah sesekali engkau menjawab mampu., karena hal itu mustahil dan sifat Qudroh Allah tidak berta’alluq dngan perkara yang mustahil. Jangan pula engkau menjawab tidak mampu, sebab dengan jawaban tersebut engkau memastikan Allah itu lemah, sedangkan lemah atau Al-Ajzu itu mustahil bagi Allah. Tetapi jawablah : Pertanyaan seperti itu adalah mustahil, dan sifat Allah Qudroh itu tidak berta’alluq dengan perkara yang mustahil, sifat Qudroh itu hanya berta’alluq dengan hal-hal yang mungkin, tidak berta’alluq dengan perkara-perkara yang wajib, dan tidak pula berta’alluq dengan hal-hal yang mustahil.

C.     Pengaruh Sifat Qudroh Pada Hal Yang Mungkin
Perlu di ketahui, bahwa sifat Al-Qudrah itu tidak memiliki pengaruh apa-apa pada sesuatu yang mungkin, pengaruh itu sebenarnya asli dari Allah swt sedangkan al-qudrah hanyalah menjadi sebab dalam memberi pengaruh. Syekh Ibnu Dzikro berkata : Semua perbuatan itu milik dzat (Allah) yang memiliki sifat-sifat sempurna. Barang siapa yang berkeyakinan bahwa sifat al-qudrah itu memiliki pengaruh pada hal-hal yang mungkin dengan sendirinya atau dengan dzat Allah, maka dia kafir. Wal 'Iyadzubiflah. Oleh sebab itu perlu di ketahui ucapan orang awam yang maknanya: Sifat Al-Qudrat itu bisa berbuat dengan sendirinya, bukan sebagai sebab mencipta. Ucapan seperti itu di hukumi haram (pengucapannya dianggap dosa), jika tidak sengaja menyandarkan perkara yang terjadi itu pada qudrat. Apabila ada kesengajaan menyandarkan perkara yang terjadi itu pada qudrat, maka orang yang megucapkan kalimat itu di hukumi kafir.

Seseorang tidak boleh mengatakan sifat Al-Qudrat itu merupakan lantaran atau alat untuk meciptakan sesuatu. Pendapat ini bertentangan dengan orang yang mengatakan, bahwa sifat Al-Qudrat itu kedudukannya seperti pena bagi orang yang menulis. Allah swt itu tidak sama dengan sifat makhluk.

D.     Dalil Aqli Sifat Qudroh
Dalil aqli bahwa Allah swt itu memiliki sifat Al-Qudrat, ialah wujud alam ini. Susunan penyampaian dalilnya sebagai berikut: Apabila Allah tidak memiliki sifat Al-Qudrat, berarti Dia lemah, dan apabila Dia lemah, maka alam raya dan isinya ini tidak ada, sedang ketiadaan alam dan isinya ini mustahil, sebab berlawanan dengan kenyataan. Jadi hal-hal yang menyebabkan kemustahilan, yaitu kelemahan Allah itu jelas batil. Jika demikian maka pastilah Allah tidak lemah, tapi kuasa. Apabila Allah telah pasti memiliki sifat al-Qudrot maka mustahil Dia bersifat Al-Ajzu (lemah) lawan sifat Al-Qudrot (Maha Kuasa).

E.     Dalil Naqli Sifat Qudroh
إِنَّ اللهَ عَلىَ كُلِّ شَئٍ قَدِيْرٌ
“Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”

وَمَا كَانَ اللهُ لِيُعْجِزَهُ مِنْ شَئٍ فِي السَّمَوَاتِ وَلَا فِي الأرْضِ إنَّهُ كَانَ عَلِيْمًا قَدِيْرًا
“Dan tidak sesuatu yang dapat melemahkan Allah, baik di langit maupun di bumi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.”


Sumber : Syekh Muhammad An-Nawawi Al-Jawi, Fathul Majid

Sabtu, 18 Februari 2012

Kaligrafi Arab

 KALIGRAFI ARAB

A.   Sejarah Perkembangan Kaligrafi Arab
Menurut sejarah Islam, orang atau  manusia yang pertama kali mengenal tulisan adalah Nabi Adam, dimana pengetahuan tersebut diwahyukan Allah SWT kepada Nabi Adam sebagai modal pengetahuan pertama untuk mengenal nama-nama benda. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam al-Qur’an surah al-Baqarah, ayat 31:
Artinya:  Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!" (QS. Al-Baqarah: 31)[1]

Tulisan Arab mulai tumbuh dan berkembang sejak agama Islam muncul di tanah Arab pad abad 6 M. Penggunaan tulisan Arab pertama-tama adalah adalah pada saat penulisan ayat-ayat suci Al-Quran. Penulisan Al-Quran secara resmi baru dimulai pada zaman khalifah Usman bin Affan. Dimana tulisan/mushaf Arab yang dipergunakan adalah Mushaf Utsman yakni tulisan tanpa membubuhkan tanda harakah (syakal). Kemudian tulisan Al-Quran disebarkan di Basrah, Kufah, Makkah, dan beberapa daerah lainnya. Penulisan Al-Quran selanjutnya menggunakan khath Kufie, khath Raihany, khath Tsuluts, dan yang terakhir menggunakan khath Naskhi. Untuk pertama kalinya Khath Naskhi ini dipergunakan sebagai mushaf mencetak Al-Quran di Jerman, untuk disebarkan ke negara-negara islam di luar Arab.[2]
Dalam bukunya Athlasul Khatt Wal Khuthuth, Habibullah Fadzoili mengungkapkan gambaran-gambaran perkembangan kaligrafi Arab yang terbagi dalam enam periode sebagai berikut:[3]
Pertama, muncul gaya Kufi yang belum ada tanda baca (i’jam). Baru pada abad ke-7 H timbul pemikiran mengenai tanda baca tulisan abjad al-Qur’an yang dipelopori oleh ahli bahasa Abul Awwad Ad-Duali (w. 69 H), yang kemudian usahanya dilanjutnya oleh muridnya sehingga mencapai tahap kesempurnaan. Pada paro abad ke-8 gaya Kufimencapai keelokan bentuknya sehingga bertahan lebih dari tiga ratus tahun. Sampai pada abad ke-11 H gaya Kufitelah memperoleh lebih banyak tambahan selain ornamental.
Kedua, peride ini dimulai dari akhir kekhalifahan Bani Umayah hingga pertengan kekuasaan Bani Abbasiyah di Baghdad, yaitu khalifah al-Makmun. Pada masa ini muncul modifikasi dan pembentukan gaya-gaya lain selain gaya Kufisehingga dalam tahap perindahan dan pertumbuhan pada periode ini ditemukan enam rumusan pokok (al-Aqlam Assittah), yaitu Tsuluts, Naskhi, Muhaqqaq, Raihani, Riq’i dan Tauqi’.Selain itu, tercatat sekitar 24 gaya khat yang muncul dan berkembang pada periode ini, bahkan ada yang mencatat bahwa kaligrafi Arab sampai mencapai 36 gaya.
Ketiga, periode penyempurnaan dan perumusan kaidah penulisan huruf oleh Abu ‘Ali Muhammad bin Muqlah (w. 328 H) dan saudaranya, Abu Abdullah Hasan bin Muqlah dengan metode al-Khath al-Mansub (ukuran standar bentuk kaligrafi). Ibnu Muqlah sangat berjasa dalam membangun gaya Naskhi dan Tsuluts. Di samping itu, ia juga mengodifikasi sekitar 14 gaya kaligrafi serta menentukan 12 kaidah untuk pegangan seluruh aliran.
Keempat, periode pengembangan dari rumusan Ibnu Muqlah oleh Ibnu Bawwab, yang nama aslinya Abu Hasan Ali Bin Hilal (w. 1022 M), berhasil menemukan gaya lebih gemulai (al-Mansub al-Faiq), pertautan yang indah. Gaya kesukaannya adalah khat Naskhi dan khat Muhaqqaq. Ia juga menambahkan zukhrufah (hiasan) pada 13 gaya kaligrafi yang menjadi eksperimennya.
Kelima, periode pengolahan khat dan pemikiran tentang metode hiasan baru dengan penyesuaian pena bambu, yaitu dengan potongan miring, oleh sang Qiblatul Kuttab, Jamaluddin Yaqut al-Musta’shimi. Beliau juga mengolah gaya al-Aqlam Assittah yang masyhur pada periode kedua dengan sentuhan kehalusan penuh estetik serta mengembalikan hukum-hukum Ibnu Muqlah dan Ibnu Bawab pada dasar geometri dan titik yang elok dan popular. Yaqut telah berhasil mengembangkan gaya baru tulisan Tsuluts, yang kemudian masyhur dengan gaya Yaquti. Di masa inilah para kaligraf dengan penuh antusias mampu menghasilkan ciptaan gaya baru, bahkan hingga ratusan gaya.
Keenam, periode menculnya tiga gaya baru pada masa Dinasti Memeluk di Mesir (1252-1517 M) dan Dinasti Safawi di Persia (1502-1736 M), yaitu gaya Ta’liq (Farisi) yang disempurnakan oleh kaligraf Abdul Hayy, gaya Nasta’liq, yang merupakan gabungan antara Naskhi dan Ta’liq oleh kaligraf Mir ‘Ali. 
Lebih lanjut, perkembangan kaligrafi Arab ini juga dapat dikelompokkan menjadi tiga periode, yaitu Periode Bani Umayyah, Periode Bani Abbasiyah dan Periode Lanjut.[4]

a.       Perkembangan Kaligrafi Periode Bani Umayyah (661-750 M)
Beberapa ragam kaligrafi awalnya dikembangkan berdasarkan nama kota tempat dikembangkannya tulisan. Dari berbagai karakter tulisan hanya ada tiga gaya utama yang berhubungan dengan tulisan yang dikenal di Makkah dan Madinah yaitu Mudawwar (bundar), Mutsallats (segitiga), dan Ti’im (kembar yang tersusun dari segitiga dan bundar). Dari tiga inipun hanya dua yang diutamakan yaitu gaya kursif dan mudah ditulis yang disebut gaya Muqawwar berciri lembut, lentur dan gaya Mabsut berciri kaku dan terdiri goresan-goresan tebal (rectilinear).
Perkembangan Kufi pun melahirkan beberapa variasi baik pada garis vertikal maupun horizontalnya, baik menyangkut huruf-huruf maupun hiasan ornamennya. Muncullah gaya Kufi Murabba’ (lurus-lurus), Muwarraq (berdekorasi daun), Mudhaffar (dianyam), Mutarabith Mu’aqqad (terlilit berkaitan) dan lainnya. Demikian pula gaya kursif mengalami perkembangan luar biasa bahkan mengalahkan gaya Kufi, baik dalam hal keragaman gaya baru maupun penggunannya, dalam hal ini penyalinan al-Qur’an, kitab-kitab agama, surat-menyurat dan lainnya.
Di antara kaligrafer Bani Umayyah yang termasyhur mengembangkan tulisan kursif adalah Qutbah al-Muharrir. Ia menemukan empat tulisan yaitu Thumar, Jalil, Nisf, dan Tsuluts. Tulisan ini digunakan untuk komunikasi tertulis para khalifah kepada amir-amir dan penulisan dokumen resmi istana. Sedangkan tulisan Jalil yang berciri miring digunakan oleh masyarakat luas.
b.      Perkembangan Kaligrafi Periode Bani Abbasiyah (750-1258 M)
Gaya dan teknik menulis kaligrafi semakin berkembang terlebih pada periode ini semakin banyak kaligrafer yang lahir, diantaranya Ad-Dahhak ibn ‘Ajlan yang hidup pada masa Khalifah Abu Abbas As-Shaffah (750-754 M), dan Ishaq ibn Muhammad pada masa Khalifah al-Manshur (754-775 M) dan al-Mahdi (775-786 M). Ishaq memberi kontribusi yang besar bagi pengembangan tulisan Tsuluts dan Tsulutsain dan mempopulerkan pemakaiannya. Kemudian kaligrafer lain yaitu Abu Yusuf as-Sijzi yang belajar Jalil kepada Ishaq. Yusuf berhasil menciptakan huruf yang lebih halus dari sebelumnya.
Adapun kaligrafer periode Bani Abbasiyah yang tercatat sebagai nama besar adalah Ibnu Muqlah yang pada masa mudanya belajar kaligrafi kepada Al-Ahwal al-Muharrir. Ibnu Muqlah berjasa besar bagi pengembangan tulisan kursif karena penemuannya yang spektakuler tentang rumus-rumus geometrikal pada kaligrafi yang terdiri dari tiga unsur kesatuan baku dalam pembuatan huruf yang ia tawarkan yaitu : titik, huruf alif, dan lingkaran. Menurutnya setiap huruf harus dibuat berdasarkan ketentuan ini dan disebut al-Khat al-Mansub (tulisan yang berstandar). Ia juga mempelopori pemakaian enam macam tulisan pokok (al-Aqlam as-Sittah) yaitu Tsuluts, Naskhi, Muhaqqaq, Raihani, Riqa’, dan Tauqi’ yang merupakan tulisan kursif. Tulisan Naskhi dan Tsuluts menjadi populer dipakai karena usaha Ibnu Muqlah yang akhirnya bisa menggeser dominasi khat Kufi.
Pemakaian kaligrafi pada masa Daulah Abbasiyah menunjukkan keberagaman yang sangat nyata, jauh bila dibandingkan dengan masa Umayyah. Para kaligrafer Daulah Abbasiyah sangat ambisius menggali penemuan-penemuan baru atau mendeformasi corak-corak yang tengah berkembang. Karya-karya kaligrafi lebih dominan dipakai sebagai ornamen dan arsitektur oleh Bani Abbasiyah daripada Bani Umayyah yang hanya mendominasi unsur ornamen floral dan geometrik yang mendapat pengaruh kebudayaan Hellenisme dan Sasania.
c.       Perkembangan Kaligrafi Periode Lanjut
Selain di kawasan negeri Islam bagian timur (al-Masyriq) yang membentang di sebelah timur Libya termasuk Turki, dikenal juga kawasan bagian barat dari negeri Islam (al-Maghrib) yang terdiri dari seluruh negeri Arab sebelah barat Mesir, termasuk Andalusia (Spanyol Islam). Kawasan ini memunculkan bentuk kaligrafi yang berbeda. Gaya kaligrafi yang berkembang dominan adalah Kufi Maghribi yang berbeda dengan gaya di Baghdad (Irak). Sistem penulisan yang ditemukan oleh Ibnu Muqlah juga tidak sepenuhnya diterima, sehingga gaya tulisan kursif yang ada bersifat konservatif.
Sementara bagi kawasan Masyriq, seni kaligrafi dan hiasan al-Qur’an pun mencapai puncaknya. Dinasti ini memiliki beberapa kaligrafer yang dibimbing Yaqut seperti Ahmad al-Suhrawardi yang menyalin al-Quran dalam gaya Muhaqqaq tahun 1304, Mubarak Shah al-Qutb, Sayyid Haydar, Mubarak Shah al-Suyufi dan lain-lain.
B.    Macam-macam Kaligrafi Arab
Dari awal Islam sampai sekarang terdapat lebih dari empat ratus lebih gaya, jenis, atau aliran kaligrafi Arab. Semuanya memiliki cirri dan karakter sendiri-sendiri, tetapi yang mampu bertahan dengan penyempurnaannya hanya sekitar belasan aliran.
Menurut ketentuan yang sudah baku  dalam seni tulisan Arab murni (khath Arab), dapat dikenal beberapa jenis khat, yakni Naskhi, Tsuluts, Riq’ah, Ijazah, Diwani, Diwani Jali, Farisi dan Kufi.[5] Untuk lebih jelasnya akan kami jelaskan sebagai berikut:
a.       Naskhi
Khat Naskhi adalah jenis khat yang paling umum dipakai dalam penulisan bahasa Arab, karena di samping bentuk hurufnya yang sederhana dan mudah dibaca oleh orang non-Arab sekalipun, juga merupakan dasar bagi semua jenis khat pada umumnya.[6] Dinamakan Naskhi karena sering dipakai pada penyalinan mushaf dan penulisan naskah-naskah kitab berbahasa Arab, majalah, atau koran.  Keindahan aliran ini disebabkan karena adanya iringan harakat atau syakal walaupun pembentukannya sederhana.
Tulisan Naskhi atau Nasakh merupakan suatu jenis tulisan bentuk curcif, yakni tulisan bergerak berputar (rounded) yang sifatnya mudah untuk dibaca. Umumnya tulisan curcif ini lebih berperanan sebagai tulisan mushaf Al-Quran bila dibandingkan dengan Khat Koufi.
Ibn Muqlah merumuskan empat ketentuan tentang tata cara dan tata letak yang sempurna tulisan Naskhi, yakni Tashrif (jarak huruf yang rapat dan teratur), Ta’lif (susunan huruf yang terpisah dan bersambung dalam bentuk yang wajar), Tasthir (keselarasan dan kesempurnaan hubungan satu kata dengan kata lainnya dalam satu garis lurus), Tanshil (memancarkan keindahan dalam setiap sapuan garis pada setiap huruf).[7]
Contohnya sebagai berikut:
 b.      Tsuluts
Tsuluts yang berarti sepertiga, yaitu sepertiga kertas yang sering dipakai di kedutaan Mesir. Gaya Tsuluts tampak lebih tegas daripada Naskhi walaupun huruf-hurufnya agak mirip dengan gaya Naskhi dalam pembentukannya yang berumpun satu jenis. Bentuk dan lekukan huruf-hurufnya jelas dan gagah. Keindahannya terletak pada penataan hurufnya yang serasi  dan sejajar dengan disertai harakat dan hiasan-hiasan huruf sehingga tidak mustahil kalu jenis ini memperoleh nilai tertinggi daripada jenis-jenis yang lainnya. Keluwesannya tidak terikat dengan garis yang digunakan pada judul-judul naskah, papan nama, dekorasi, lukisan, desain dan lain-lain.[8]
Contohnya sebagai berikut :

  

             c.       Riq’ah.
Dinamakan Riq’ah karena sesuai dengan gaya penulisannya yang kecil-kecil serta terdapat sudut siku-siku yang unik dan indah. Khat Riq’ah merupakan salah satu khat yang kurang cocok jika diberi syakal dan hiasan sebab lebih digunakan pada penulisan steno atau cepat, misalnya untuk catatan sekolah atau wartawan. Khat ini kurang luwes dipakai dalam lukisan karena lebih banyak terikat dengan kaidah penulisannya yang di atas garis meskipun ada beberapa huruf yang sebagian di bawah garis.[9]
 Contohnya sebagai berikut :

d.      Ijazah
Sesuai dengan namanya, khat ini lebih banyak dipakai untuk ijazah-ijazah. Menilik jenisnya, gaya ini merupakan gabungan dari Naskhi dan Tsuluts. Bentuknya kecil seperti Naskhi, tetapi huruf-hurufnya luwes seperti Tsuluts, baik dalam syakal maupun hiasan-hiasannya.[10]
Contohnya sebagai berikut :
e.       Diwani
Jenis khat ini sering dipakai untuk tulisan kantor-kantor, lencana, surat-surat resmi, dan lain-lain. Namanya yang terambil dari kata diwan yang berarti kantor sesuai dengan huruf-hurufnya yang berbentuk lembut, gemulai penuh gaya melingkar, serta tersusun di atas garis seperti khat Riq’ah. Perlu diperhatikan bahwa gaya Diwani tidak memakai syakal ataupun hiasan dalam penyusunannya. Karena bila memakai, justru kurang menyatu dengan gaya penulisanya.[11]
Contohnya sebagai berikut:

f.       Diwani Jali
Khat ini lebih jelas daripada Diwani biasa. Perbedaanya, yaitu pemberian syakal, hiasan, dan bertitik-titik rata pada lekukan-lekukan hurufnya, lebih memperindah penyusunan khat ini. Namun gaya ini jarang digunakan kecuali dalam dekorasi.[12]
Contohnya sebagai berikut :
 g.      Kufi
Kata Kufi diambil atau dinisbahkan pada asalnya, yaitu Kufah. Dengan pembentukan yang geomatris atau balok bergaris lurus, Kufi lebih mudah disusun sesuai keinginan dengan menyatukan pembentukan yang sejajar, kemudian diolah untuk motif dekorasi sehingga keindahan Kufi akan terlihat, apalagi jika dibubuhi ornamen-ornamen. Khat ini cocok dipakai untuk judul buku, dekorasi, atau lukisan.[13]
Contohnya sebagai berikut :




               h.      Farisi
Khat ini sama dengan jenis Ta’liq yang berarti menggantung. Farisi sendiri terkait dengan nama daerah asalnya, yaitu Persia (Iran). Gaya Farisi memiliki kecenderungan kemiringan huruf ke kanan dan ditulis tanpa harakat ataupun hiasan. Khat ini sampai sekarang masih tetap dipakai oleh orang-orang Iran, Pakistan, baik formal maupun nonformal. Khat ini juga cocok dalam brbagi bidang.[14]
 Contohnya sebagai berikut :




[1] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah dan Pentafsir Al-Qur’an, Depag RI, 2007), hlm. 3.
[2] Oloan Situmorang, “Seni Rupa Islam Pertumbuhan dan Perkembangannya”, http://faizabdullah.wordpress.com/kaligrafi/09/02/2011.
[3] Nurul Huda, Melukis Ayat …, hlm. 4-6.
[4] M. Badhal, “Sejarah Kaligrafi“, http://badhalfblood.blogspot.com/08/11/2009/
[5] Nurul Huda, Melukis  Ayat …, hlm. 7-11.
[6] Hadi Masruri, Belajar Menulis Indah Kaligrafi Arab, (Yogyakarta : Pilar Media, 2002), hlm. 2.
[7]Oloan Situmorang, “Seni Rupa Islam Pertumbuhan dan Perkembangannya”, http://faizabdullah.wordpress.com/kaligrafi/09/02/2011.
[8]Nurul Huda, Melukis  Ayat …, hlm. 8.
[9]Ibid., hlm. 8.
[10]Ibid., hlm. 9.
[11]Ibid., hlm. 9.
[12]Ibid., hlm. 10.
[13]Ibid., hlm. 10.
[14]Ibid.