ALHAMDULILLAH...
Puji syukur kepada Allah SWT, akhirnya Blog ini dapat saya aktifkan kembali. Maksud hati ingin terus berbagi apapun di sini namun apa daya passwordnya lupa sehingga beberapa tahun saya biarkan berhenti apa adanya. Tidak banyak memang apa yang saya miliki namun senang rasanya memberikan sesuatu yang kita miliki bisa dirasakan oleh semuanya...
Bimillahi al-awwali wal akhiri ..... semoga barokah! Amiin
Read more: http://syamsudinnamaku.blogspot.com/2011/03/membuat-burung-garuda-beterbangan-di.html#ixzz1n5808w1m
Minggu, 05 Januari 2014
Rabu, 29 Februari 2012
Sifat Irodah
SIFAT IRODAH
A. Pengertian Sifat Irodah
Sifat wajib Allah yang
ke-delapan adalah AI-Irodah (Maha Berkehendak), yaitu sifat Allah yang
aza'li yang wujud seperti sifat AI-Qudrat yang sekiranya kita dibukakan
hijabnya, tentu kita dapat melihatnya. Sifat Al-Irodah ini ada sebab Dzat Allah
dan berhubungan dengan segala hal yang mungkin, ia tidak berhubungan dengan hal-hal yang wajib maupun
mustahil. Sifat Al-Irodah ialah sifat yang sebab sifat ini Allah
menentukan hal yang mungkin dengan sebagian
sesuatu yang mungkin pada hal yang mungkin tersebut.
Penjelasannya
ialah, sesungguhnya semua makhluk sebelum wujud itu boleh juga di
wujudkan menurut suatu sifat selain sifatnya
sesuda wujud. Sifat putih itu boleh apabila di wujudkan hitam, merah
atau hijau. Tinggi itu boleh di wujudkan pendek. Langit boleh juga di wujudkan di bawah, dan bumi di wujudkan di
atas.
Jadi
ketentuan masing-masing hal tersebut dengan sifat yang ada
padanya adalah pengaruh Al-Irodah.
B. Hubungan Sifat
Al-irodah dengan AI-Qudrat Dalam Teori
Perlu
diketahui, bahwa irodah (kehendak) Allah swt menurut teori pemikiran itu mendahului Qudrotnya, karena Qudrot
Allah dalam
pemikiran kita itu berhubungan dengan sesuatu, lalu irodah Allah menetapkan kepadanya sebagaimana sifa-sifat yang mungkin untuk sesuatu tersebut, contoh : Zaid
sebelum berwujud boleh jadi dia putih, hitam, pendek, atau tinggi, boleh
menetap di timur atau barat, boleh dia di
atas atau di bawah. Jadi ketentuan zaid berwarna putih, tinggi, berada
di timur dan di barat itu di pengaruhi oleh sifat irodah, sesudah itu sifat
Al-Qudrat memberikan pengaruh berdasarkan
keadaan di atas. Tetapi hal ini menurut teori pemikiran orang-orang kita.
Adapun menurut sifat-sifat Allah
tidak seperti itu clan kita tidak boleh mengatakan berdasarkan teori
angan-angan kita tersebut, karena dalam pemberian pengaruh di luar angan-angan
(ucapan), kita tidakboleh mengatakan, irodah Allah itu lebih dahulu
berhubungan dengan sesuatu yang mungkin, kemudian di susul oleh Qudrot Allah,
sebab yang dernikian itu termasuk sifat-sifat makhluk, sedangkan sifat-sifat Allah tidak sama dengan sifat-sifat makhluk.
C.
Hal-hal Mungkin Yanng Berhubungan Dengan Sifat AlQudrat dan AI-Irodat
Perlu diketahui,
sesungguhnya hal-hal yang mungkin ada hubungannya
dengan sifat qudrat dan irodat itu ada enam, yaitu:
1.
Wujud (keberadaan)
2.
Adam (Ketiadaan)
3.
Sifat, seperti
tinggi, pendek, dan sebagainya.
4.
Zaman
5.
Tempat
6.
Arah dan Ukuran.
Enam hal
di atas di sebut Al-Mumkinat Al-Mutaqobilat. Sebagian
ulama'menyusun dalam nadlom:
المُمْكِنَاتُ
المُتَقَابِلاَتُ # وُجُوْدُنَا وَالعَدَمُ الصِّفَاتُ
أَزْمِنَةٌ
أمْكِنَةٌ جِهَاتُ # كَذَا المَقَادِيْرُ رَوَى الثِّقَاتُ
"Perkara-perkara mungkin
yang berlawanan ialah wujud (ada) dan Adam (tiada),
Sifat (seperti tinggi, pendek, d1l), Zaman (seperti siang dan malam), dan
Tempat-tempat atau Arah (seperti atas, bawah, samping,
dll) dan Ukuran. Hal ini diriwayatkan oleh orang yang
terpercaya."
D. Dua
Ta'alluq Sifat AI-Irodah
Perlu
diketahui, bahwa sifat Al-Irodah itu mempunyai dua ta'alluq yaitu :
1.
Ta'alluq Shuluhi
Qodim
2.
Ta'alluq Tanjizi
Qodim
Ta'alluq Shuluhi Qodim,
yaitu sahnya sifat al-irodah menentukan sesuatu yang mungkin pada zaman azali
dengan semua yang mungkin di sandang sesuatu tersebut. Zaid yang tinggi itu
dapat saja tidak seperti keadaan yang dialami, jika memandang kelayakan sifat Al-Irodah. Sifat Al-Irodah itu layak saja menentukan Zaid menjadi raja atau menjadi
orang gembel, jika memandang Ta'alluq
Shuluhi Qodim sifat al-irodah. ini.
Ta'alluq
Tanjizi Qodim, yaitu sifat yang ditetukan Allah, dengn sifat
Al-Irodah-Nya pada sesuatu yang mungkin di jaman azali dan tetap berlangsung dalam
kenyataan tanpa ada perubahan, seperti,
Zaid ada atau tidak ada, putih atau hitam. Artinya ketentuan irodah Allah terhadap sesuatu yang mungkin pada jaman azali dengan salah satu dua perkara
saja, ada atau tidak ada, baik atau buruk.
E.
Hukum
menyandarkan Kekuasaan Menentukan Sesuatu pada Sifat Al-Irodah
Perlu
diketahui, bahwa menyandarkan kekuasaan (hak) menentukan
sesuatu pada sifat al-irodah itu adalah majas, sebab pada
hakekatnya yang menentukan sepenuhnya adalah Allah swt.
Sifat irodah itu hanya merupakan sebab saja. Barang siapa yang berkeyakinan
bahwa penentuan sesuatu dengan Al-Irodah atau penentuan sesuatu
dengan Al-Irodah dan Dzat Allah, maka dia dihukumi kafir.
F. Antara Al-Irodah (kehendak) dan Perintah
Perlu
diketahui, bahwa irodah itu tidak identik dengan perintah. Berbeda
dengan pendapat golongan Mu'tazilah, Allah swt itu berkehendak baik
dan jelek,tetapi tidak memerintah kecuah pada yang baik.
G. Dalil Aqli Sifat Wajib Allah Al-Irodah
Dalil aqli sifat
wajib Allah al-irodah ialah wujud atau keberadaan
alam raya ini. Cara mengemukakan dalil ini ialah , apabila. Allah tidak memiliki kehendak
(al-irodah), berarti Dia di paksa, jika Dia dipaksa tentu Dia lemah, dan
apabila. Dia lemah berarti Dia tidak
kuasa, dan apabila Dia tidak kuasa, maka semua makhluk di alam raya ini tidak ada. Sedangkan jika alam raya ini tidak ada tentu tidak benar, sebab berlawanan
dengan kenyataan. Jadi apa saja yang menyebabkan ketidak benaran, yaitu kelemahan Allah, maka harus di tolak. Apabila
Allah jelas tidak lemah, bararti Dia
tidak di paksa, dan Dia berarti memiliki kehendak (Al-Irodah). Apabila sudah menjadi kenyataan, bahwa Allah itu memiliki Al-Irodah, maka pasti mustahil
Dia bersifat Al-Karokah (terpaksa) lawan sifat Al-irodah.
H.Dalil Naqli Sifat Wajib Allah
Al-Irodah
Allah berfirman:
إِنَّمَا قَوْلُنَا لِشَئٍ
إذَا أَرَدْنَاهُ أَنْ نَقُوْلَ لهُ كُنْ فَيَكُوْنُ
"Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya Kun
(jadilah), maka jadilah ia."
وَ رَبُّكَ يَخْلُقُ مَا
يَشَاءُ وَ يَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الخِيْرَةُ سُبْحَانَ اللهِ عَمَّا
يُشْرِكُوْنَ
"Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan
memilih-Nya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan
Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan."
قُلِ اللّهُمَّ مَاِلكُ
المُلْكِ تُؤْتِي المُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَ تَنْزِعُ المُلْكَ مِمَّنُ تَشَاءُ وَ
تُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَ تُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الخَيْرِ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ
شَئْ قَدِيْرٌ
"Katakanlah 'Wahai, Tuhan yang
mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang
yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau
kehandaki. Engkau mulyakan orang yang Engkau
kehendaki dan Engkau hinakan orang
yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkau-lah segala kebajikan.
Sesungguhnya Engkau Maha kuasa atas segala sesuatu'."
Minggu, 19 Februari 2012
Sifat Qudroh
SIFAT QUDROH
A.
Arti
Sifat Qudroh
Sifat wajib
Allah yang ketujuh adalah Al-Qudroh (Maha Kuasa), yaitu suatu sifat Allah yang
azali yang ada sebab dzat-Nya, yang dengan sifat ini Dia menciptakan hal-hal
yang mungkin dan meniadakannya. Maksudnya, sebab sifat Al-Qudroh ini segala hal
yang mungkin berwujud, asalnya tidak ada menjadi ada. Jadi apabila sifat
Al-Qudroh ini berhubungan dengan hal yang tidak ada, bisa menyebabkan wujudnya
hal yang tidak ada tersebut dan jika berhubungan dengan hal yang wujud maka
sifat Al-Qudroh ini mejadi sebab ketiadaan hal yang wujud tadi.
B.
Ta’alluq
SifatQudroh dan Arti Ta’alluq
Hubungan
(ta’alluq) sifat qudroh dengan maujud (hal yang wujud) dan ma’dum (hal yang
tidak wujud) disebut Ta’alluq Tanjizi Hadits. Artinya, hubungan yang
terkait pelaksanaan pekerjaan. Selain itu sifat qudroh juga memiliki Ta’alluq
Shuluhi Qodim yaitu kesesuaian sifat qudroh pada segala sesuatu yang ada
dan tidak ada di zaman azali. Contohnya, sifat qudroh telah sesuai jika ada
seorang diciptakan dalam postur yang tinggi maupun pendek. Ta’alluq tanjizi
semacam ini hanya sesuai dengan keadaan yang telah dialami orang tersebut.
Perlu
diketahui, bahwa sifat Qudroh itu hanya berta’alluq dengan hal-hal yang
mungkin, tidak berta’alluq dengan hal-hal yang wajib, seperti dzat Allah dan
sifat-sifat-Nya, dan juga tidak berta’alluq
dengan hal-hal yang mustahil, seperti ada sekutu bagi Allah. Hal yang
demikian ini karena sifat Qudroh itu berta’alluq dengan pekerjaan, mencipta dan
meniadakan. Sedangkan dzat Allah telah ada, begitu pula sifat-sifat-Nya dan
mewujudkan sesuatu yang telah wujud itu mustahil, karena tahsilul hasil. Jadi
sifat Qudroh itu tidak berta’alluq dengan wujud (keberadaan) Allah dan tidak
berta’alluq dengan tiada-Nya, sebab peniadaan Allah itu sesuatu yang mustahil,
pasti menimbulkan kerusakan, sedangkan perkara yang mustahil seperti adanya
sekutu bagi Allah jelas tidak ada, jadi tidak mungkin Allah tidak ada atau
ditiadakan.
Apabila ada
pertanyaan, apakah Allah kuasa menciptakan sekutu, istri atau anak untuk
diri-Nya? Maka janganlah sesekali engkau menjawab mampu., karena hal itu
mustahil dan sifat Qudroh Allah tidak berta’alluq dngan perkara yang mustahil.
Jangan pula engkau menjawab tidak mampu, sebab dengan jawaban tersebut engkau
memastikan Allah itu lemah, sedangkan lemah atau Al-Ajzu itu mustahil bagi
Allah. Tetapi jawablah : Pertanyaan seperti itu adalah mustahil, dan sifat
Allah Qudroh itu tidak berta’alluq dengan perkara yang mustahil, sifat Qudroh
itu hanya berta’alluq dengan hal-hal yang mungkin, tidak berta’alluq dengan
perkara-perkara yang wajib, dan tidak pula berta’alluq dengan hal-hal yang mustahil.
C.
Pengaruh
Sifat Qudroh Pada Hal Yang Mungkin
Perlu di
ketahui, bahwa sifat Al-Qudrah itu tidak memiliki pengaruh apa-apa pada sesuatu
yang mungkin, pengaruh itu sebenarnya asli dari Allah swt sedangkan al-qudrah
hanyalah menjadi sebab dalam memberi pengaruh. Syekh Ibnu Dzikro berkata :
Semua perbuatan itu milik dzat (Allah) yang memiliki sifat-sifat sempurna. Barang siapa yang berkeyakinan bahwa sifat al-qudrah
itu memiliki pengaruh pada hal-hal yang mungkin dengan sendirinya atau dengan
dzat Allah, maka dia kafir. Wal 'Iyadzubiflah.
Oleh sebab itu perlu di ketahui ucapan orang awam yang maknanya: Sifat
Al-Qudrat itu bisa berbuat dengan sendirinya,
bukan sebagai sebab mencipta. Ucapan seperti itu di hukumi haram (pengucapannya dianggap dosa), jika
tidak sengaja menyandarkan perkara yang terjadi itu pada qudrat. Apabila ada kesengajaan menyandarkan perkara yang
terjadi itu pada qudrat, maka orang
yang megucapkan kalimat itu di hukumi kafir.
Seseorang tidak boleh mengatakan sifat
Al-Qudrat itu merupakan lantaran atau alat
untuk meciptakan sesuatu. Pendapat
ini bertentangan dengan orang yang mengatakan, bahwa sifat Al-Qudrat itu
kedudukannya seperti pena bagi orang yang menulis. Allah swt itu tidak sama
dengan sifat makhluk.
D.
Dalil
Aqli Sifat Qudroh
Dalil aqli bahwa Allah swt itu memiliki
sifat Al-Qudrat, ialah wujud alam ini. Susunan penyampaian dalilnya
sebagai berikut: Apabila Allah tidak memiliki sifat Al-Qudrat, berarti Dia
lemah, dan apabila Dia lemah, maka alam raya dan isinya ini tidak ada, sedang ketiadaan
alam dan isinya ini mustahil, sebab berlawanan dengan kenyataan. Jadi hal-hal yang menyebabkan kemustahilan, yaitu
kelemahan Allah itu jelas batil. Jika demikian maka pastilah Allah tidak
lemah, tapi kuasa. Apabila Allah telah pasti memiliki sifat al-Qudrot maka
mustahil Dia bersifat Al-Ajzu (lemah) lawan sifat Al-Qudrot (Maha Kuasa).
E.
Dalil
Naqli Sifat Qudroh
إِنَّ اللهَ عَلىَ كُلِّ شَئٍ قَدِيْرٌ
“Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”
وَمَا كَانَ اللهُ لِيُعْجِزَهُ مِنْ شَئٍ فِي السَّمَوَاتِ وَلَا فِي
الأرْضِ إنَّهُ كَانَ عَلِيْمًا قَدِيْرًا
“Dan tidak
sesuatu yang dapat melemahkan Allah, baik di langit maupun di bumi.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.”
Sumber : Syekh Muhammad An-Nawawi Al-Jawi, Fathul Majid
Sabtu, 18 Februari 2012
Kaligrafi Arab
KALIGRAFI ARAB
A. Sejarah
Perkembangan Kaligrafi Arab
Menurut sejarah Islam, orang atau
manusia yang pertama kali mengenal tulisan adalah Nabi Adam, dimana pengetahuan
tersebut diwahyukan Allah SWT kepada Nabi Adam sebagai modal pengetahuan
pertama untuk mengenal nama-nama benda. Hal ini sesuai dengan firman
Allah SWT dalam al-Qur’an surah al-Baqarah, ayat 31:
Artinya:
Dan Dia mengajarkan kepada Adam
nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para
malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika
kamu mamang benar orang-orang yang benar!" (QS. Al-Baqarah: 31)[1]
Tulisan Arab mulai tumbuh dan berkembang sejak agama
Islam muncul di tanah Arab pad abad 6 M. Penggunaan tulisan Arab pertama-tama
adalah adalah pada saat penulisan ayat-ayat suci Al-Quran. Penulisan Al-Quran secara resmi baru dimulai pada
zaman khalifah Usman bin Affan. Dimana tulisan/mushaf Arab yang dipergunakan
adalah Mushaf Utsman yakni tulisan tanpa membubuhkan tanda harakah (syakal).
Kemudian tulisan Al-Quran disebarkan di Basrah, Kufah, Makkah, dan beberapa
daerah lainnya. Penulisan Al-Quran selanjutnya menggunakan khath Kufie,
khath Raihany, khath Tsuluts, dan yang terakhir menggunakan khath
Naskhi. Untuk pertama kalinya Khath Naskhi ini dipergunakan
sebagai mushaf mencetak Al-Quran di Jerman, untuk disebarkan ke negara-negara
islam di luar Arab.[2]
Dalam
bukunya Athlasul Khatt Wal Khuthuth, Habibullah Fadzoili mengungkapkan
gambaran-gambaran perkembangan kaligrafi Arab yang terbagi dalam enam periode
sebagai berikut:[3]
Pertama,
muncul gaya Kufi yang
belum ada tanda baca (i’jam). Baru pada abad ke-7 H timbul pemikiran
mengenai tanda baca tulisan abjad al-Qur’an yang dipelopori oleh ahli bahasa
Abul Awwad Ad-Duali (w. 69 H), yang kemudian usahanya dilanjutnya oleh muridnya
sehingga mencapai tahap kesempurnaan. Pada paro abad ke-8 gaya Kufimencapai
keelokan bentuknya sehingga bertahan lebih dari tiga ratus tahun. Sampai
pada abad ke-11 H gaya Kufitelah memperoleh lebih banyak tambahan selain
ornamental.
Kedua, peride ini dimulai dari akhir
kekhalifahan Bani Umayah hingga pertengan kekuasaan Bani Abbasiyah di Baghdad,
yaitu khalifah al-Makmun. Pada masa ini muncul modifikasi dan pembentukan
gaya-gaya lain selain gaya Kufisehingga dalam tahap perindahan dan pertumbuhan
pada periode ini ditemukan enam rumusan pokok (al-Aqlam Assittah), yaitu
Tsuluts, Naskhi, Muhaqqaq, Raihani, Riq’i dan Tauqi’.Selain itu, tercatat
sekitar 24 gaya khat yang muncul dan berkembang pada periode ini, bahkan ada
yang mencatat bahwa kaligrafi Arab sampai mencapai 36 gaya.
Ketiga, periode penyempurnaan dan perumusan
kaidah penulisan huruf oleh Abu ‘Ali Muhammad bin Muqlah (w. 328 H) dan
saudaranya, Abu Abdullah Hasan bin Muqlah dengan metode al-Khath al-Mansub (ukuran
standar bentuk kaligrafi). Ibnu Muqlah sangat berjasa dalam membangun gaya
Naskhi dan Tsuluts. Di samping itu, ia juga mengodifikasi sekitar 14 gaya
kaligrafi serta menentukan 12 kaidah untuk pegangan seluruh aliran.
Keempat, periode pengembangan dari rumusan Ibnu
Muqlah oleh Ibnu Bawwab, yang nama aslinya Abu Hasan Ali Bin Hilal (w. 1022 M),
berhasil menemukan gaya lebih gemulai (al-Mansub al-Faiq), pertautan
yang indah. Gaya kesukaannya adalah khat Naskhi dan khat Muhaqqaq. Ia juga
menambahkan zukhrufah (hiasan) pada 13 gaya kaligrafi yang menjadi
eksperimennya.
Kelima, periode pengolahan khat dan pemikiran
tentang metode hiasan baru dengan penyesuaian pena bambu, yaitu dengan potongan
miring, oleh sang Qiblatul Kuttab, Jamaluddin Yaqut al-Musta’shimi. Beliau juga
mengolah gaya al-Aqlam Assittah yang masyhur pada periode kedua dengan
sentuhan kehalusan penuh estetik serta mengembalikan hukum-hukum Ibnu Muqlah
dan Ibnu Bawab pada dasar geometri dan titik yang elok dan popular. Yaqut telah
berhasil mengembangkan gaya baru tulisan Tsuluts, yang kemudian masyhur dengan
gaya Yaquti. Di masa inilah para kaligraf dengan penuh antusias mampu
menghasilkan ciptaan gaya baru, bahkan hingga ratusan gaya.
Keenam, periode menculnya tiga gaya baru pada
masa Dinasti Memeluk di Mesir (1252-1517 M) dan Dinasti Safawi di Persia
(1502-1736 M), yaitu gaya Ta’liq (Farisi) yang disempurnakan oleh kaligraf
Abdul Hayy, gaya Nasta’liq, yang merupakan gabungan antara Naskhi dan Ta’liq
oleh kaligraf Mir ‘Ali.
Lebih lanjut, perkembangan kaligrafi Arab ini juga
dapat dikelompokkan menjadi tiga periode, yaitu Periode Bani Umayyah, Periode
Bani Abbasiyah dan Periode Lanjut.[4]
a. Perkembangan
Kaligrafi Periode Bani Umayyah (661-750 M)
Beberapa ragam kaligrafi
awalnya dikembangkan berdasarkan nama kota tempat dikembangkannya tulisan. Dari
berbagai karakter tulisan hanya ada tiga gaya utama yang berhubungan dengan
tulisan yang dikenal di Makkah dan Madinah yaitu Mudawwar (bundar), Mutsallats
(segitiga), dan Ti’im (kembar yang tersusun dari segitiga dan bundar).
Dari tiga inipun hanya dua yang diutamakan yaitu gaya kursif dan mudah ditulis
yang disebut gaya Muqawwar berciri lembut, lentur dan gaya Mabsut
berciri kaku dan terdiri goresan-goresan tebal (rectilinear).
Perkembangan Kufi pun
melahirkan beberapa variasi baik pada garis vertikal maupun horizontalnya, baik
menyangkut huruf-huruf maupun hiasan ornamennya. Muncullah gaya Kufi
Murabba’ (lurus-lurus), Muwarraq (berdekorasi daun), Mudhaffar
(dianyam), Mutarabith Mu’aqqad (terlilit berkaitan) dan lainnya.
Demikian pula gaya kursif mengalami perkembangan luar biasa bahkan mengalahkan
gaya Kufi, baik dalam hal keragaman gaya baru maupun penggunannya, dalam hal
ini penyalinan al-Qur’an, kitab-kitab agama, surat-menyurat dan lainnya.
Di antara kaligrafer Bani
Umayyah yang termasyhur mengembangkan tulisan kursif adalah Qutbah al-Muharrir.
Ia menemukan empat tulisan yaitu Thumar, Jalil, Nisf, dan Tsuluts.
Tulisan ini digunakan untuk komunikasi tertulis para khalifah kepada amir-amir
dan penulisan dokumen resmi istana. Sedangkan tulisan Jalil yang berciri
miring digunakan oleh masyarakat luas.
b. Perkembangan Kaligrafi Periode Bani Abbasiyah (750-1258 M)
Gaya dan teknik menulis kaligrafi semakin berkembang terlebih pada
periode ini semakin banyak kaligrafer yang lahir, diantaranya Ad-Dahhak ibn
‘Ajlan yang hidup pada masa Khalifah Abu Abbas As-Shaffah (750-754 M), dan
Ishaq ibn Muhammad pada masa Khalifah al-Manshur (754-775 M) dan al-Mahdi
(775-786 M). Ishaq memberi kontribusi yang besar bagi pengembangan tulisan
Tsuluts dan Tsulutsain dan mempopulerkan pemakaiannya. Kemudian kaligrafer lain
yaitu Abu Yusuf as-Sijzi yang belajar Jalil kepada Ishaq. Yusuf berhasil
menciptakan huruf yang lebih halus dari sebelumnya.
Adapun kaligrafer periode Bani Abbasiyah yang tercatat sebagai nama besar
adalah Ibnu Muqlah yang pada masa mudanya belajar kaligrafi kepada Al-Ahwal
al-Muharrir. Ibnu Muqlah berjasa besar bagi pengembangan tulisan kursif karena
penemuannya yang spektakuler tentang rumus-rumus geometrikal pada kaligrafi
yang terdiri dari tiga unsur kesatuan baku dalam pembuatan huruf yang ia
tawarkan yaitu : titik, huruf alif, dan lingkaran. Menurutnya
setiap huruf harus dibuat berdasarkan ketentuan ini dan disebut al-Khat
al-Mansub (tulisan yang berstandar). Ia juga mempelopori pemakaian enam
macam tulisan pokok (al-Aqlam as-Sittah) yaitu Tsuluts, Naskhi,
Muhaqqaq, Raihani, Riqa’, dan Tauqi’ yang merupakan tulisan kursif. Tulisan
Naskhi dan Tsuluts menjadi populer dipakai karena usaha Ibnu Muqlah yang
akhirnya bisa menggeser dominasi khat Kufi.
Pemakaian kaligrafi pada masa Daulah Abbasiyah menunjukkan keberagaman
yang sangat nyata, jauh bila dibandingkan dengan masa Umayyah. Para kaligrafer
Daulah Abbasiyah sangat ambisius menggali penemuan-penemuan baru atau
mendeformasi corak-corak yang tengah berkembang. Karya-karya kaligrafi lebih
dominan dipakai sebagai ornamen dan arsitektur oleh Bani Abbasiyah daripada
Bani Umayyah yang hanya mendominasi unsur ornamen floral dan geometrik yang
mendapat pengaruh kebudayaan Hellenisme dan Sasania.
c. Perkembangan Kaligrafi Periode Lanjut
Selain di kawasan negeri Islam bagian timur (al-Masyriq) yang
membentang di sebelah timur Libya termasuk Turki, dikenal juga kawasan bagian barat
dari negeri Islam (al-Maghrib) yang terdiri dari seluruh negeri Arab
sebelah barat Mesir, termasuk Andalusia (Spanyol Islam). Kawasan ini
memunculkan bentuk kaligrafi yang berbeda. Gaya kaligrafi yang berkembang
dominan adalah Kufi Maghribi yang berbeda dengan gaya di Baghdad (Irak). Sistem
penulisan yang ditemukan oleh Ibnu Muqlah juga tidak sepenuhnya diterima,
sehingga gaya tulisan kursif yang ada bersifat konservatif.
Sementara
bagi kawasan Masyriq, seni kaligrafi dan hiasan al-Qur’an pun mencapai puncaknya.
Dinasti ini memiliki beberapa kaligrafer yang dibimbing Yaqut seperti Ahmad
al-Suhrawardi yang menyalin al-Quran dalam gaya Muhaqqaq tahun 1304, Mubarak
Shah al-Qutb, Sayyid Haydar, Mubarak Shah al-Suyufi dan lain-lain.
B. Macam-macam Kaligrafi Arab
Dari awal
Islam sampai sekarang terdapat lebih dari empat ratus lebih gaya, jenis, atau
aliran kaligrafi Arab. Semuanya memiliki cirri dan karakter sendiri-sendiri,
tetapi yang mampu bertahan dengan penyempurnaannya hanya sekitar belasan
aliran.
Menurut
ketentuan yang sudah baku dalam seni tulisan Arab murni (khath Arab),
dapat dikenal beberapa jenis khat, yakni Naskhi, Tsuluts, Riq’ah, Ijazah,
Diwani, Diwani Jali, Farisi dan Kufi.[5]
Untuk lebih jelasnya akan kami jelaskan sebagai berikut:
a. Naskhi
Khat Naskhi adalah jenis khat yang paling umum
dipakai dalam penulisan bahasa Arab, karena di samping bentuk hurufnya yang
sederhana dan mudah dibaca oleh orang non-Arab sekalipun, juga merupakan dasar
bagi semua jenis khat pada umumnya.[6]
Dinamakan Naskhi karena sering dipakai pada penyalinan mushaf dan penulisan
naskah-naskah kitab berbahasa Arab, majalah, atau koran. Keindahan aliran ini disebabkan karena
adanya iringan harakat atau syakal walaupun pembentukannya sederhana.
Tulisan Naskhi
atau Nasakh merupakan suatu jenis tulisan bentuk curcif, yakni tulisan bergerak
berputar (rounded) yang sifatnya mudah untuk dibaca. Umumnya tulisan
curcif ini lebih berperanan sebagai tulisan mushaf Al-Quran bila dibandingkan
dengan Khat Koufi.
Ibn Muqlah
merumuskan empat ketentuan tentang tata cara dan tata letak yang sempurna
tulisan Naskhi, yakni Tashrif (jarak huruf yang rapat dan teratur), Ta’lif
(susunan huruf yang terpisah dan bersambung dalam bentuk yang wajar), Tasthir
(keselarasan dan kesempurnaan hubungan satu kata dengan kata lainnya dalam satu
garis lurus), Tanshil (memancarkan keindahan dalam setiap sapuan garis
pada setiap huruf).[7]
Contohnya sebagai
berikut:
b. Tsuluts
Tsuluts yang berarti sepertiga, yaitu sepertiga
kertas yang sering dipakai di kedutaan Mesir. Gaya Tsuluts tampak lebih tegas
daripada Naskhi walaupun huruf-hurufnya agak mirip dengan gaya Naskhi dalam
pembentukannya yang berumpun satu jenis. Bentuk dan lekukan huruf-hurufnya
jelas dan gagah. Keindahannya terletak pada penataan hurufnya yang serasi dan sejajar dengan disertai harakat dan
hiasan-hiasan huruf sehingga tidak mustahil kalu jenis ini memperoleh nilai
tertinggi daripada jenis-jenis yang lainnya. Keluwesannya tidak terikat dengan
garis yang digunakan pada judul-judul naskah, papan nama, dekorasi, lukisan,
desain dan lain-lain.[8]
Contohnya sebagai berikut :
c. Riq’ah.
Dinamakan Riq’ah karena sesuai dengan gaya
penulisannya yang kecil-kecil serta terdapat sudut siku-siku yang unik dan
indah. Khat Riq’ah merupakan salah satu khat yang kurang cocok jika diberi
syakal dan hiasan sebab lebih digunakan pada penulisan steno atau cepat,
misalnya untuk catatan sekolah atau wartawan. Khat ini kurang luwes dipakai
dalam lukisan karena lebih banyak terikat dengan kaidah penulisannya yang di
atas garis meskipun ada beberapa huruf yang sebagian di bawah garis.[9]

d. Ijazah
Sesuai dengan namanya, khat ini lebih banyak
dipakai untuk ijazah-ijazah. Menilik jenisnya, gaya ini merupakan gabungan dari
Naskhi dan Tsuluts. Bentuknya kecil seperti Naskhi, tetapi huruf-hurufnya luwes
seperti Tsuluts, baik dalam syakal maupun hiasan-hiasannya.[10]
Contohnya sebagai berikut :
e. Diwani
Jenis khat ini sering dipakai untuk tulisan
kantor-kantor, lencana, surat-surat resmi, dan lain-lain. Namanya yang terambil
dari kata diwan yang berarti kantor sesuai dengan huruf-hurufnya yang
berbentuk lembut, gemulai penuh gaya melingkar, serta tersusun di atas garis
seperti khat Riq’ah. Perlu diperhatikan bahwa gaya Diwani tidak memakai syakal
ataupun hiasan dalam penyusunannya. Karena bila memakai, justru kurang menyatu
dengan gaya penulisanya.[11]
Contohnya sebagai berikut:
f. Diwani Jali
Khat ini lebih jelas daripada Diwani biasa.
Perbedaanya, yaitu pemberian syakal, hiasan, dan bertitik-titik rata pada
lekukan-lekukan hurufnya, lebih memperindah penyusunan khat ini. Namun gaya ini
jarang digunakan kecuali dalam dekorasi.[12]
Contohnya sebagai berikut :
g. Kufi
Kata Kufi diambil atau dinisbahkan pada
asalnya, yaitu Kufah. Dengan pembentukan yang geomatris atau balok bergaris
lurus, Kufi lebih mudah disusun sesuai keinginan dengan menyatukan pembentukan
yang sejajar, kemudian diolah untuk motif dekorasi sehingga keindahan Kufi akan
terlihat, apalagi jika dibubuhi ornamen-ornamen. Khat ini cocok dipakai untuk
judul buku, dekorasi, atau lukisan.[13]
Contohnya sebagai berikut :
h. Farisi
Khat ini sama dengan jenis Ta’liq yang berarti
menggantung. Farisi sendiri terkait dengan nama daerah asalnya, yaitu Persia
(Iran). Gaya Farisi memiliki kecenderungan kemiringan huruf ke kanan dan
ditulis tanpa harakat ataupun hiasan. Khat ini sampai sekarang masih tetap
dipakai oleh orang-orang Iran, Pakistan, baik formal maupun nonformal. Khat ini
juga cocok dalam brbagi bidang.[14]
Contohnya sebagai berikut :
[1] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan
Terjemahnya, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah dan Pentafsir
Al-Qur’an, Depag RI, 2007), hlm. 3.
[2] Oloan Situmorang, “Seni Rupa Islam Pertumbuhan dan
Perkembangannya”, http://faizabdullah.wordpress.com/kaligrafi/09/02/2011.
[3]
Nurul Huda, Melukis Ayat …, hlm. 4-6.
[4] M. Badhal, “Sejarah
Kaligrafi“, http://badhalfblood.blogspot.com/08/11/2009/
[5]
Nurul Huda, Melukis Ayat …, hlm.
7-11.
[6]
Hadi Masruri, Belajar Menulis Indah Kaligrafi Arab, (Yogyakarta :
Pilar Media, 2002), hlm. 2.
[7]Oloan Situmorang, “Seni Rupa Islam Pertumbuhan dan
Perkembangannya”, http://faizabdullah.wordpress.com/kaligrafi/09/02/2011.
[8]Nurul
Huda, Melukis Ayat …, hlm. 8.
[9]Ibid.,
hlm. 8.
[10]Ibid.,
hlm. 9.
[11]Ibid.,
hlm. 9.
[12]Ibid.,
hlm. 10.
[13]Ibid.,
hlm. 10.
[14]Ibid.
Langganan:
Postingan (Atom)